Nasional

Mengupayakan Punk sebagai Kendaraan Dakwah

Mengupayakan Punk sebagai Kendaraan Dakwah


Jakarta

Punk memiliki banyak pengertian. Ia bisa berwawasan sebagai Aliran Musik, Kebiasaan, estetika, atau praktik sosial yang berlawanan dengan arus utama. Atau sebagai campuran dari pelbagai ragam definisi yang disebutkan itu. Elastisitas yang menunjukkan sifat dari punk itu sendiri sebagai sesuatu yang longgar dan tidak ada batas.

Citra punk di mata masyarakat Indonesia, dengan suara negatif, dianggap bebas, liar, keras, dan provokatif. Anak-anak punk acap dianggap berada di zona di luar tatanan kehidupan umum yang berlaku. Label yang disematkan untuk kondisi itu, seperti pemberontak, begundal, berandalan, anak-anak nakal.

Lensa negatif sering, meski tidak Setiap Waktu, menjadi sorotan utama bila menyoal punk. Padahal, punk sendiri karena karakteristiknya yang bebas, tidak homogen dan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang diperlihatkan oleh Élise Imray Papineau dalam penelitian yang menyusuri tujuh kota besar di Jawa dan wawancara dengan para pelaku skena punk. Hasil penelitian itu dibukukan, berjudul Punk (Kok) Muslim: Tinjauan Antropologis Saling Pengaruh Punk dan Kesalehan di Jawa (2022).

Kemunculan Punk Muslim

Punk muslim muncul, salah satunya, karena terjadi pergeseran para pelaku punk. Dari yang sebelumnya ada di spektrum ideologi kiri yang dominan pada 1990-an ke arah konservatif kanan. Para aktivis punk yang dulu terlibat dalam gerakan anti otoritarian menentang Soeharto dan yang perjuangannya diarahkan kepada negara, beralih kepada perjuangan agama.


Mereka inilah sebagian generasi punk yang pada masa itu yang bergeser ke arah konservatif seiring dengan Islamisasi dan revivalisme Islam yang tumbuh selama Orde Baru. Kebangkitan Islam dan gaung konservatisme dari Timur Tengah melanda Indonesia sejak 1970-an dan tidak terlepas dari Revolusi Iran. Islam transnasional itu turut diberi tekanan oleh rezim Orde Baru yang mengikutkan agama sebagai bagian pembangunan.

Ditambah lagi dengan, Islamisasi diasosiasikan dengan kemajuan dan modernitas. Hal itu kemudian menarik minat anak-anak muda untuk tercebur ke dalamnya. Hasilnya, masyarakat Indonesia pada umumnya, dan Jawa pada khususnya menjadi kian terislamisasi. Situasi itu lantas membuat masyarakat yang religius membawa bentuk-bentuk kesalehannya ke dalam banyak bidang dan membuatnya menjadi lebih Islami.

Dalam skena punk, ada upaya mengartikulasikan Islam di satu sisi dengan politik di sisi lain dan menjadikan punk muslim sebagai gerakan sosial keagamaan. Aktivis punk muslim, seperti skena punk lainnya, Bahkan bergerak dalam etos DIY (Do-It-Yourself).

DIY ini Merupakan sebuah prinsip dari para pelaku punk yang memusatkan perhatian pada kemampuan mengusahakan secara independen pelbagai irisan antara Kebiasaan, estetika, alat produksi, dan lainnya. Begitu pentingnya DIY, sehingga digunakan untuk mengidentifikasi seberapa besar komitmen sebuah skena terhadap punk melalui etos ini. Para pelaku punk muslim memanfaatkan DIY untuk menyebarkan gagasan Islam konservatif, sekaligus menarik perhatian anak muda untuk bergabung.

Artikulasi Lewat Pasar Keislam-Islaman

Gerakan punk muslim menjalankan moda produksi DIY. Mereka menjual produk-produk yang acap diidentifikasikan sebagai atribut fesyen punk, seperti kaos, patch, dan pin. Seringkali, dalam produk-produk seperti ini, para aktivis punk muslim berkreasi dengan memelesetkan nama atau logo Grup Musik punk atau slogan yang Sebelumnya terkenal, yang biasanya cenderung tidak agamis. Misalnya, sebuah toko daring menjual produk dengan desain bertuliskan Bad Zionism sebagai plesetan Grup Musik Bad Religion. Sebagai ungkapan sikap politik sekaligus penolakan terhadap sikap anti agama.

Produksi itu, secara terang meniru atau memfotokopi aktivitas punk yang selama ini kita kenal. Trik mereka itu memudahkan akses Kebiasaan religius, tetapi sekaligus tidak lumrah atau inkonvensional yang gampang menarik anak muda perkotaan. Selaras dengan apa yang dikatakan Ricklefs, bahwa, “Pada masa pasca-Soeharto, Islamisasi kadang diasosiasikan dengan fesyen trendi dan kebudayaan anak muda.” Dan, situasi itu, menurut Papineau, terjadi tidak terlepas dari kehadiran pasar keislam-islaman yang tengah berkembang, perjumpaannya dengan dinamika kapitalis dan neoliberal.

Pasar keislam-islaman ini Menyajikan ruang untuk memasarkan pesan atau ide melalui teknik branding dan merchandising yang memikat, di mana di dalamnya kalangan anak muda menjadi konsumennya. Kalangan anak muda yang terpikat ini kemudian memberi makna baru pada objek, simbol, dan wacana yang beredar. Dalam pasar keislam-islaman inilah terjadi komodifikasi elemen sakral (Islam) dan profan (punk) yang mendorong kemajuan gerakan punk muslim.

Karena berada dalam pasar keislam-islaman, berhasil atau tidaknya gerakan punk muslim bergantung pada gaya. Sebagaimana dikutip Papineau, gaya Merupakan aspek penting dari estetika religius yang mendorong gaya keagamaan bersama diwujudkan dalam bentuk seperti—yang beririsan dengan skena punk: lagu, gambar, simbol, dan gaya pakaian. Hal ini karena gaya tidak dapat dilepaskan dari identitas. Identitas memiliki kekuatan untuk memberi rasa saling memiliki secara kolektif Mengikuti identifikasi estetika yang menjadi sumber dari gaya. Dengan demikian, seseorang dapat menyatakan diri menjadi bagian kolektif dengan mengenakan fesyen tertentu yang sama.

Dalam keadaan seperti yang Sudah disebutkan, gerakan punk muslim Menyajikan produk merchandise mereka sendiri. Mereka mendapat dukungan dari target pasar mereka, Didefinisikan sebagai kalangan anak muda perkotaan. Dengan begitu anak-anak muda itu dapat menampilkan identitas sebagai punk muslim. Ditambah lagi dengan, produk-produk yang ditawarkan berguna sebagai komunikasi penyebaran atau sirkulasi makna. Dengan makna yang disirkulasikan berlapis-lapis, menandakan identitas Islam sekaligus merujuk pada simbol atau citra yang pada dasarnya punk.

Mengoptimalkan Kesalehan dalam Praktik Punk

Jejaring antar punk muslim Sudah membangun rasa persaudaraan karena kesamaan identitas, sebuah identifikasi satu sama lain berlandaskan gaya. Mereka berbagai gagasan yang sama soal hubungan kesalehan pribadi dan praktik punk. Dalam istilah yang disebut Papineau sebagai “Persaudaraan Alternatif”, mereka berupaya membangun wacana Islam dan eksklusivitas laki-laki di skena punk.

Para pelaku punk muslim ini mendorong praktik Islam Supaya bisa ditegakkan dan dijalankan oleh anggota lingkaran punk dengan ketat. Sembari di satu sisi, mereka berupaya mengkritisi dan sebisa Kemungkinan menjauhkan Kebiasaan punk yang tidak sesuai kaidah Islam. Dengan tetap menyebut diri sebagai “punk”, mereka menjelma lebih pantas di mata masyarakat.

Punk muslim berupaya mengeksklusivitaskan laki-laki. Hal ini mendorong perempuan, dari yang sebelumnya terpinggirkan di skena punk menjadi tidak dilibatkan dalam lingkungan punk muslim. Bahwa, dalam masyarakat Jawa, perempuan Setiap Waktu dikungkung di dalam nilai-nilai kesopanan dan tata susila itu benar. Ditambah, dalam wacana Islam yang disirkulasikan gerakan punk muslim, laki-laki lebih ditonjolkan untuk mengambil peran sebagai pemimpin dan pemikir, sementara perempuan dikesampingkan untuk mengikuti saja.

Implementasi dari wacana yang diedarkan itu, para aktivis punk muslim yang tersebar menjalankan berbagai aktivitas. Mereka membuat diskusi, seminar, kemah yang dilakukan di kafe, warung, tempat komunitas, masjid, dan sebagainya. Menggemakan tema-tema persaudaraan antar komunitas dan menganjurkan bersikap sebagai muslim yang baik. Dengan memanfaatkan simbol dan wacana punk, seperti etos DIY, mereka menyerukan untuk sikap tidak minum alkohol, mengkonsumsi Narkotika, Psikotropika, dan Medis-Obatan Terlarang, kegiatan negatif lainnya, serta memberi layanan penghapusan tato bagi siapa yang berhijrah dengan membayar melalui membaca surat dalam Al Quran.

Sementara itu, terkait dengan moda produksi DIY seperti yang disebutkan di bagian sebelumnya, aktivis punk muslim membingkainya dengan lihai. Mengintegrasikan DIY dan etos kewirausahaan, dengan wacana di baliknya bukan sebagai kontra hegemonik terhadap pasar, tetapi sebagai praktik berislam. Membumbuinya dengan kegiatan yang dilandaskan sunah, dan Kemungkinan sekali didasarkan untuk mencontoh perilaku Nabi Muhammad.

Memanfaatkan pendapat Hasan Al-Banna sebagai argumentasi pendukung, punk muslim menegaskan akar dari DIY Merupakan kemandirian, bukan individualisme. Sehingga mereka menyatakan, komunitas Wajib menopang dan membiayai sendiri kebutuhannya. Orientasinya jelas ke arah komunitas, bukan individu.

Sampai di sini, kita mendapati gerakan punk muslim Sudah menjalankan agenda dakwahnya dengan mantap di kalangan anak muda perkotaan. Didefinisikan sebagai, mengupayakan kesalehan individu melalui jalan punk yang dianggap di luar batas normatif kehidupan sosial. Hasilnya, ada beberapa paradoks yang menyertai gerakan punk muslim ini. Misalnya, religiusitas yang dialami anak muda perkotaan terjadi secara individualitas, tetapi secara Pada saat yang sama ada tekanan untuk mendorong asas kolektif.

Papineu mengatakan, individualisasi agama menggerus prinsip-prinsip universal Islam, dan mendapatkan respons balik dengan menguatnya fundamentalisme. Karena itu, kolektif atau imajinasi persaudaraan menjadi kian penting untuk mewadahi umat. Lalu, ada paradoks, antara punk muslim sendiri yang kontra hegemonik atau malah mengalami ketergantungan. Dalam hal ini, punk muslim menyatakan menolak liberalisme dan individualisme Barat.

Mereka sejalan dengan wacana mayoritas muslim, dan menentang wacana populer Barat. Ini menunjukkan kontra hegemoninya di tingkat global. Sekalipun, hal itu bertentangan dengan, contohnya, merchandise yang dijual para pelaku punk muslim. Sebagian besar merchandise itu menggunakan bahasa Inggris dan simbol atau lambang yang secara terang Barat. Sementara yang lainnya menampilkan gambar dan tulisan Arab yang bernuansa Timur Tengah. Dua hal ini memperlihatkan wujud Integrasi Ekonomi Global sekaligus modern ala kesalehan Islam. Menyatakan, secara simbolis, Islam terintegrasi dalam proses global, dan tetap pada keselarasannya dengan dunia Islam.

Sayangnya belum dapat dilacak sejauh mana penolakan punk muslim terhadap Kearifan Lokal Barat. Sebab, mereka sendiri Bahkan menggantungkan pada Kearifan Lokal Barat untuk mengenalkan merek brand-nya. Guna menarik lebih banyak anak muda perkotaan dengan tawaran identitas kosmopolitan dengan prestise dan kemodernanya. Sesuatu yang dengan jelas merupakan tembakan, apakah punk itu kontra hegemonik atau tidak.

Papienu Akhirnya mengatakan dalam konteks pembahasan punk muslim, punk Kemungkinan lebih menjual sebagai simbol untuk menjual fantasi Kearifan Lokal anak muda, kemandirian, dan penegasan diri. Apa yang dikerjakan oleh Papineu Sudah memberi wawasan yang berharga tentang bagaimana hubungan skena punk dan Islam konservatif di Jawa. Bagaimana kaum Islam konservatif memanfaatkan punk yang selama ini berlawanan dengan arus utama, menjadi kendaraan dakwahnya. Bagaimana mereka membengkokkannya Supaya bisa selaras dengan versi Islam yang disuarakan, dan mendayagunakannya Supaya bisa tetap tampak keren di mata anak muda perkotaan.

Sejurus dengan itu, mereka Menyajikan Kebiasaan religius yang Mudah dan mudah, serta mendorong peningkatan kesalehan individu. Upaya yang terlihat efektif ini Kemungkinan Sudah menjadi salah satu sebab tumbuhnya konservatisme Islam di Indonesia akhir-akhir ini. Sesuatu yang Kemungkinan masih Nanti akan tumbuh lagi, entah dengan memanfaatkan “jenis kendaraan” apa lagi.

Sumber Refrensi Berita: Detik.com

Tinggalkan Balasan

Back to top button