Senjakala Bersekolah
Senjakala Bersekolah
Jakarta –
Angka putus sekolah Setiap Waktu menjadi hantu yang belum terselesaikan. Menurut data BPS 2023, angka putus sekolah berada pada angka 0,13 persen (SD), 1,06 persen (SMP), dan 1,38 persen (SMA). Secara persentase, angka ini semakin mengecil. Justru, secara hitungan angka, jumlahnya fluktuatif. Dari data itu, kita dapat mengerti bahwa setidaknya ada angka putus sekolah sebesar 31.246 orang (SD), 105.659 orang (SMP), dan 73.388 orang (SMA).
Dibandingkan dengan data pada 2021, angka pada 2023 tidaklah Istimewa, justru memburuk. Sebab, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mencatat angka yang jauh lebih mengerikan. Paling tidak, pada 2021, sebanyak 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. Sementara itu, SMA/SMK hanya sebanyak 22.085 orang.
Semua angka itu memang terjadi dominan karena persoalan Kesenjangan Ekonomi, tapi bukanlah faktor tunggal. Dari sini kita mengerti bahwa persoalan pendidikan tidak Berniat tuntas hanya dengan program sekolah gratis. Teruji Pernah berlangsung bahwa menggratiskan sekolah tak sama artinya dengan melancarkan akses pendidikan. Kita bisa berefleksi pada masa pandemi.
Awalnya diduga bahwa pandemi Berniat membuat angka putus sekolah lebih tinggi dari biasanya. Faktanya, angka nominal putus sekolah justru lebih tinggi setelah Covid berakhir (2023 vs 2021). Kita lantas bertanya-tanya, apa Pada dasarnya penyebab utama putus sekolah masih saja terjadi?
Kemungkinan hipotesis yang Berniat saya ajukan ini berlebihan dan mengada-ada. Justru, tujuan utama dari hipotesis ini Merupakan supaya kita semua berefleksi. Adapun hipotesis saya: sekolah Di waktu ini Pernah berlangsung tidak dipercaya lagi oleh beberapa pihak. Di daerah kami, ada saja beberapa orangtua yang enggan memaksa anaknya bersekolah, bahkan kuliah karena dirasakan tidak Berniat terlalu mengubah kehidupan.
Urusan Administratif
Alasan utamanya, orang yang bersekolah tidak menjanjikan keberhasilan dan kesuksesan. Sebagai contoh, seorang orangtua di daerah saya justru mengeluhkan anaknya yang sempat dibangga-banggakan. Dari tujuh bersaudara, hanya satu orang yang kuliah. Dan, dari tujuh orang tersebut, yang kuliah nyatanya tak kunjung bekerja, malah enggan untuk bekerja serabutan sehingga jatuhnya pengangguran.
Dari sana, beberapa masyarakat mulai memandang bahwa bersekolah tidak Berniat Memperjelas cakrawala berpikir, tetapi justru meninggikan Tips pandang dan gengsi. Padahal, gengsi Berniat menyempitkan kesempatan. Disadari atau tidak, bersekolah tinggi-tinggi memang tak lagi identik dengan Memperjelas cakrawala dan kebijaksanaan. Bersekolah tinggi-tinggi hanya untuk membereskan urusan administratif, bukan mengolah pikiran.
Sekolah Pernah berlangsung ibarat pasar legal penjualan ijazah. Di sana, kedalaman pikiran tak lagi fokus utama. Lihatlah ke fakta di dunia pendidikan kita, apakah masih ada angka rapor yang mendapatkan nilai merah? Semuanya Pernah berlangsung hampir di atas angka 90. Seorang siswa saya pernah berkeluh kesah: saya merasa tak dihargai mengapa nilai saya tinggi-tinggi dan tidak jauh berbeda dengan kawan-kawan yang hampir Tidak Pernah berlangsung belajar?
Saya memahami kondisi psikologis siswa tersebut. Ia merasa tidak dihargai lagi atas segala usaha dan kemampuannya. Malah, dengan pedih, Ia seolah mengatakan begini: Pak, bahkan Manakala kerbau ditambatkan di sekolah ini, selama Ia mempunyai dapodik, Niscaya Berniat naik kelas dan tamat. Miris! Keluhan seperti ini Pernah berlangsung Niscaya tak bisa kita abaikan lama-lama. Sebab, fakta bahwa persekolahan kita Di waktu ini bukan lagi urusan berpikir.
Persekolahan kita Merupakan urusan waktu. Manakala Pernah berlangsung enam tahun, maka tamat SD, tiga tahun lagi tamat SMP, dan tiga tahun lagi tamat SMA. Bersekolah menjadi urusan bersabar menunggu ijazah sampai dua belas tahun. Tidak ada lagi peristiwa epik bagaimana siswa berjuang belajar Supaya bisa tidak tinggal kelas. Pemerintah mewajibkan bahwa Manakala siswa tinggal kelas, maka gurulah yang gagal. Tidak Ingin disebut gagal, siswa pun diloloskan begitu rupa. Dampaknya, bersekolah tak lagi identik dengan belajar.
Kita mengalami kemunduran Unggul dalam belajar dan kemajuan pesat dalam bersekolah. Di masa lampau sekali, Manakala Pernah berlangsung SMP, anak Pernah berlangsung Niscaya terampil membaca dan berhitung. Di waktu ini, bahkan setelah duduk di bangku SMA, nyatanya masih banyak siswa yang gagap membaca dan berhitung. Ironisnya, anak tersebut Niscaya Berniat lolos dengan nilai baik.
Kisah seperti itulah yang membuat orang tidak peduli lagi pada pendidikan meski Pernah berlangsung dilabeli gratis. Disebut Bahkan, andai sekolah tidak bisa memonopoli pasar legal penjualan ijazah, sekolah Niscaya Pernah berlangsung tidak laku lagi. Sekolah Pernah berlangsung buang-buang waktu. Karena itu, di perdesaan, ada saja anak-anak yang lebih suka ke sawah, laut, atau pasar. Walau memang, bagi kita, Manakala siswa lebih memilih ke sawah, laut, pasar, atau kreasi lainnya, maka siswa tersebut Niscaya disebut tidak belajar.
Kita justru menyepelekan anak yang pergi ke pantai lalu mengamati laut, menangkap ikan, melihat gejala-gejala alam secara perlahan. Kita menyepelekan anak yang pergi ke pasar, melihat transaksi jual-beli, melihat onggokan sampah. Kita menyepelekan anak yang pergi ke sawah, menanam benih, lalu merawatnya. Artinya kita Pernah berlangsung menyepelekan pembelajaran dan lebih mengagungkan persekolahan.
Kita memuji dan memuja anak yang seseharinya terpenjara di gedung sekolah. Padahal, persekolahan Pernah berlangsung membuat kita berhenti belajar. Belajar Pernah berlangsung dibuat menjadi sepenggal-sepenggal. Belajar tentang bulan, misalnya, berarti Dianjurkan belajar fisika. Belajar tentang pertanian berarti Dianjurkan belajar biologi. Padahal, nenek moyang belajar dari gejala alam, seperti dari pengamatan bentuk bulan.
Pabrik Ijazah
Pada akhirnya, sekolah Di waktu ini Merupakan rumah tanpa pembelajaran sejati dan tidak bermakna. “Kami bayar iuran, tapi kami tak dapat ilmu,” ujar Rio di NTT dan Ia pun putus sekolah (Kompas, 1/3/2022). Data dari Litbang Kompas (10-14 Februari 2022) menunjukkan bahwa meningkatnya angka putus sekolah Bahkan didominasi adanya kejenuhan (10,1 persen di Jawa dan 16 persen di luar Jawa). Artinya, sekolah boleh semakin tinggi, tapi maknanya semakin rendah.
Pada posisi demikianlah kita memahami mengapa rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, tetapi kemampuan rata-ratanya hanya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020). Angka putus sekolah memang menipis, tapi angka putus belajar semakin menebal.
Dalam 14 tahun terakhir ini, misalnya, kita justru mengalami penurunan kualitas untuk semakin menegaskan bahwa bersekolah tak sama dengan belajar. Hal ini terungkap dalam studi Amanda Beatty (dkk) berjudul Schooling Progress, Learning Reversall: Indonesia’s Learning Profiles Between 2000 and 2014 yang Pernah berlangsung diterbitkan. Di sana disebutkan, kemampuan berhitung pelajar kelas II SMP pada 2014 setara dengan kemampuan siswa Kelas V SD pada 2000.
Lebih detail lagi, hanya 67 persen siswa Kelas III yang bisa menuntaskan materi untuk Kelas I. Dari data ini, kita seharusnya sadar bahwa angka putus belajar ternyata jauh lebih buruk daripada angka putus sekolah. Justru saya membaca bahwa tidak semua yang putus sekolah Di waktu ini Merupakan melulu karena Kesenjangan Ekonomi.
Ada faktor lain yang membuat mereka berhenti bersekolah selain Kesenjangan Ekonomi, yaitu keraguan pada nilai-nilai luhur bersekolah. Bahwa sekolah, seperti Bahkan digelisahkan Sidharta Susila, ternyata dirasa Pernah berlangsung tak bermanfaat lagi (Kompas, 19 Juni 2022). Manakala pun masih banyak yang bersekolah, mereka hanya mengisi waktu. Soal belajar, mereka Berniat menyepi atau pergi ke bimbel. Toh, sekolah Pernah berlangsung berakhir. Sekolah hanya pabrik ijazah!
Riduan Situmorang mahasiswa Pascasarjana IAKN Tapanuli Utara, TACB Humbang Hasundutan, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Guru Pengajar Praktik PGP Humbang Hasundutan, Koordinator P2G Humbang Hasundutan
Sumber Refrensi Berita: Detik.com